DARI UNHAS UNTUK DEMOKRASI INDONESIA
(Catatan dari Pemilihan Rektor Unhas)
Oleh rizal pauzi
Ketua
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Korkom UNHAS
Tatanan demokrasi secara sangat
gamblang diatur dalam konstitusi Republik Indonesia. Pasal 1 ayat 2 UUD 1945,
menegaskan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat. Proses pergantian pimpinan nasional diadakan lima tahun sekali. Tahun 2014 adalah momentum
suksesi kepemimpinan politik, yakni Pemilihan
legislatif dan Pemilihan Presiden. Inilah yang melatar belakangi sehingga banyak
orang menyebut tahun 2014
sebagai tahun plitik.
Demikian
pula halnya dengan kampus
terbesar di Indonesia Timur, Universitas Hasanuddin, mengawali
tahun 2014 dengan memilih nakhoda baru. Bertempat
di Baruga A.P. Pettarani, 27
Januari 2014 diadakanlah Pemilihan
Rektor. Setelah sebelumnya, diadakan penjaringan sampai lolos 3
kandidat dengan suara tertinggi. Pemilihan
ini dimenangkan oleh Prof. Dr. Dwia Aries Tina. Adapun rincian
suaranya, Dr. Wardihan Sinrang 128 suara, Prof Dr. Dwia Aries Tina 241 suara dan Prof Dr. Irawan Yusuf 71 suara dan tidak sah 2 suara.
Dengan
terpilihnya Prof.
Dwia Aries Tina sebagai Rektor Universitas Hanasanuddin, beliau menjadi Rektor perempuan pertama dikampus UNHAS. Ini membuktikan bahwa masyarakat kampus
Universitas Hasanuddin tidak lagi mempersoalkan perbedaan gender dalam suksesi
kepemimpinan. Demikian
pula halnya dari aspek latar
belakang, Prof Dwia
tidak bersuku Bugis-Makassar dan menyelesaikan
jenjang pendidikan Strata 1 di Universitas Airlangga (Unair), sehingga tidak
memiliki akar kaderisasi di lembaga kemahasiswaan Unhas. Sekali lagi, Senator
Unhas membuktikan bahwa mereka
telah lepas dari pengaruh pendekatan kesukuan dan fanatisme kelembagaan. ini adalah pilihan hati nurani para
senator yang tak diragukan lagi kapasitasnya
dalam bidang intelektual.
Dalam
pemilihan Rektor ini, ada
beberapa hal yang kemudian perlu digaris bawahi. Pertama, pemilihan pimpinan tertinggi di level
kampus dilaksanakan oleh anggota senat kampus yang bersangkutan. Ini sesuai dengan
Pancasila sila ke-empat, ”kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, dimana sistem pemilihannya berdasarkan perwakilan, bukan melibatkan semua civitas akedimika
kampus tersebut.
Kedua, Pemilihan Rektor ini tidak membutuhkan dana kampanye
yang besar, para kandidat hanya
diberikan kesempatan untuk memaparkan program, silaturrahim serta sosialisasi gagasan
melalui media online (misalnya via
akun twitter @suaradwia). Ketiga, sosialisasi pemilihan banyak dilakukan oleh Panitia Pemilihan melalui spanduk–spanduk disetiap
sudut kampus maupun melalui
media lainnya. Keempat, tidak
ada isu black campaign yang besar yang
dilakukan tim pemenangan ketiga kandidat ini.
Dengan
melihat fakta ini, kita dapat memberikan kesimpulan bahwa pelaksanaan
pemilihan Rektor Universitas Hasanuddin ini telah berjalan sebagai
sebuah proses demokrasi yang
sehat. Hal ini seharusnya menjadi contoh bagi Negara kita dalam menjalankan
demokrasi yang akan dilaksanakan tahun ini pula. Sekaligus menandakan
bahwa kampus yang merupakan simbol
peradaban kaum intelektual
masih mampu menjadi contoh bagi masyarakat umum.
Harapan Mahasiswa
Kedepan, selaku mahasiswa, kami berharap Rektor baru Universitas Hasanuddin mampu menciptakan kondisi demokratis di dalam kampus sendiri khususnya terhadap
lembaga kemahasiswaan. Tak
bisa dipungkiri, beberapa tahun terakhir
ini lembaga kemahasiswaan mengalami stagnasi gerakan. Mahasiswa dihantui oleh sanksi birokrasi kampus yang tegas berupa
skorsing maupun Drop
Out
(DO). Sehingga mahasiswa
menjadi takut terlibat dalam lembaga kemahasiswaan. Sebut saja kasus kekerasan
akademik yang terjadi di Fakultas
Ilmu Budaya yang menyebabkan 6 orang mahasiswa terkena skorsing, termasuk beberapa pimpinan BEM. Implikasinya
adalah hampir tidak ada lagi suara – suara mahasiswa, seperti demonstrasi untuk mengritik kebijakan
pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat. Terakhir,
perlu dipertiimbangkan kembali kehadiran lembaga
kemahasiswaan tingkat universitas,
sebagai wujud perhatian serius
terhadap pembinaan mahasiswa.
Semoga
dengan terpilihnya nahkoda baru Universitas Hasanuddin, dapat memberikan perhatian serius terhadap pengembangan lembaga kemahasiswaan dan
pengembangan skill mahasiswa. Pimpinan kampus hendaknya bukan sekadar mengajarkan mahasiswa untuk menyelesaikan studi dengan cepat
saja, tetapi juga medorong mahasiswa untuk
mengembangkan wawasan intelektual, kemampuan leadership
dan manajerial melalui
organisasi kemahasiswaan, baik
organisasi intra kampus yang
meliputi Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), maupun organisasi eksta kampus, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Kesatuan
Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan
lain-lain. Sehingga kedepan, kampus yang telah melahirkan Ketua KPK Abraham Samad dan Ketua MK Hamdan Zoelva dapat kembali menjadi sentrum gerakan
mahasiswa. Menjadi teladan bagi
kampus – kampus lain dan tetap mampu melahirkan tokoh – tokoh besar
dimasa depan.
Olehnya
itu peran mahasiswa sangatlah vital dan
wadah perjuangan terletak pada
lembaga kemahasiswaan. Maka
kampus harus mampu membina lembaga – lembaga kemahasiswaan agar mampu berperan
aktif dalam membangun
negeri tercinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar