Rabu, 19 Februari 2014

DARI UNHAS UNTUK DEMOKRASI INDONESIA

DARI UNHAS UNTUK DEMOKRASI INDONESIA
(Catatan dari Pemilihan Rektor Unhas)
Oleh rizal pauzi
Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Korkom UNHAS

Tatanan demokrasi secara sangat gamblang diatur dalam konstitusi Republik Indonesia. Pasal 1 ayat 2 UUD 1945, menegaskan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat. Proses pergantian pimpinan nasional diadakan lima tahun sekali. Tahun 2014 adalah momentum suksesi kepemimpinan politik, yakni Pemilihan legislatif dan Pemilihan Presiden. Inilah yang melatar belakangi sehingga banyak orang menyebut tahun 2014 sebagai tahun plitik.
Demikian pula halnya dengan kampus terbesar di Indonesia Timur, Universitas Hasanuddin, mengawali tahun 2014 dengan memilih nakhoda baru. Bertempat di Baruga A.P. Pettarani, 27 Januari 2014 diadakanlah Pemilihan Rektor. Setelah sebelumnya, diadakan penjaringan sampai lolos 3 kandidat dengan suara tertinggi. Pemilihan ini dimenangkan oleh Prof. Dr. Dwia Aries Tina. Adapun rincian suaranya, Dr. Wardihan Sinrang 128 suara, Prof Dr. Dwia Aries Tina 241 suara dan Prof Dr. Irawan Yusuf 71 suara dan tidak sah 2 suara.
Dengan terpilihnya Prof. Dwia Aries Tina sebagai Rektor Universitas Hanasanuddin, beliau menjadi Rektor perempuan pertama dikampus UNHAS. Ini membuktikan bahwa masyarakat kampus Universitas Hasanuddin tidak lagi mempersoalkan perbedaan gender dalam suksesi kepemimpinan. Demikian pula halnya dari aspek latar belakang, Prof Dwia tidak bersuku Bugis-Makassar dan menyelesaikan jenjang pendidikan Strata 1 di Universitas Airlangga (Unair), sehingga tidak memiliki akar kaderisasi di lembaga kemahasiswaan Unhas. Sekali lagi, Senator Unhas membuktikan bahwa mereka telah lepas dari pengaruh pendekatan kesukuan dan fanatisme kelembagaan. ini adalah pilihan hati nurani para senator yang tak diragukan lagi kapasitasnya dalam bidang intelektual. 
Dalam pemilihan Rektor ini, ada beberapa hal yang kemudian perlu digaris bawahi. Pertama, pemilihan pimpinan tertinggi di level kampus dilaksanakan oleh anggota senat kampus yang bersangkutan. Ini sesuai dengan Pancasila sila ke-empat, ”kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, dimana sistem pemilihannya berdasarkan perwakilan, bukan melibatkan semua civitas akedimika kampus tersebut.
Kedua, Pemilihan Rektor ini tidak membutuhkan dana kampanye yang besar, para kandidat hanya diberikan kesempatan untuk memaparkan program, silaturrahim serta sosialisasi gagasan melalui media online (misalnya via akun twitter @suaradwia). Ketiga, sosialisasi pemilihan banyak dilakukan oleh Panitia Pemilihan melalui spanduk–spanduk disetiap sudut kampus maupun melalui media lainnya. Keempat, tidak ada isu black campaign  yang besar yang dilakukan tim pemenangan ketiga kandidat ini.
Dengan melihat fakta ini, kita dapat memberikan kesimpulan bahwa pelaksanaan pemilihan Rektor Universitas Hasanuddin ini telah berjalan sebagai sebuah proses demokrasi yang sehat. Hal ini seharusnya menjadi contoh bagi Negara kita dalam menjalankan demokrasi yang akan dilaksanakan tahun ini pula. Sekaligus menandakan bahwa kampus yang merupakan simbol peradaban kaum intelektual masih mampu menjadi contoh bagi masyarakat umum.
Harapan Mahasiswa
Kedepan, selaku  mahasiswa, kami berharap Rektor baru Universitas Hasanuddin mampu menciptakan kondisi demokratis di dalam kampus sendiri khususnya terhadap lembaga kemahasiswaan. Tak bisa dipungkiri, beberapa tahun terakhir ini lembaga kemahasiswaan mengalami stagnasi gerakan. Mahasiswa dihantui oleh sanksi birokrasi kampus yang tegas berupa skorsing maupun Drop Out (DO). Sehingga mahasiswa menjadi takut terlibat dalam lembaga kemahasiswaan. Sebut saja kasus kekerasan akademik yang terjadi di Fakultas Ilmu Budaya yang menyebabkan  6 orang mahasiswa terkena skorsing, termasuk beberapa pimpinan BEM. Implikasinya adalah hampir tidak ada lagi suara – suara mahasiswa, seperti demonstrasi untuk mengritik kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat. Terakhir, perlu dipertiimbangkan kembali kehadiran lembaga kemahasiswaan tingkat universitas, sebagai wujud perhatian serius terhadap pembinaan mahasiswa.
Semoga dengan terpilihnya nahkoda baru Universitas Hasanuddin, dapat memberikan  perhatian serius terhadap  pengembangan lembaga kemahasiswaan dan pengembangan skill mahasiswa. Pimpinan kampus hendaknya bukan sekadar mengajarkan mahasiswa untuk menyelesaikan studi dengan cepat saja, tetapi juga medorong mahasiswa untuk mengembangkan wawasan intelektual, kemampuan leadership dan manajerial melalui organisasi kemahasiswaan, baik organisasi intra kampus yang meliputi Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), maupun organisasi eksta kampus, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan lain-lain. Sehingga kedepan, kampus yang telah melahirkan Ketua KPK Abraham Samad dan Ketua MK Hamdan Zoelva  dapat kembali menjadi sentrum gerakan mahasiswa. Menjadi teladan bagi kampus – kampus lain dan tetap mampu melahirkan tokoh – tokoh besar dimasa depan.
Olehnya itu peran  mahasiswa sangatlah vital dan wadah perjuangan terletak pada lembaga kemahasiswaan. Maka kampus harus mampu membina lembaga – lembaga kemahasiswaan agar mampu berperan aktif dalam membangun negeri tercinta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar