Oleh : Muhammad Asratillah Senge.
Krisis keuangan, bencana alam yang dahsyat, kasus korupsi, konflik horizontal, merupakan serangkaian kategori peristiwa destruktif yang pernah dan terus mengancam Indonesia. Peristiwa destruktif tersebut bisa saja “menelan” kita, dan membuat kita putus asa bahkan trauma. Kita tidak bisa melenyapkan segala peristiwa destruktif, tetapi kita bisa berdiri tegar menghadapi dan mengatasinya, maka itulah kita butuh harapan. Jika kita menggunakan kesadaran intens dalam menjalani hidup, maka banyak peristiwa sederhana yang bisa memercikkan harapan, semisal peristiwa pagi hari, tangis bayi yang baru lahir dan ritual-ritual serta perayaan keagamaan yang seringkali kita jalani dengan khidmat.
Tanggal 25 desember nanti, umat kristiani kembali memperingati kelahiran manusia yang agung, manusia yang dianggap sebagai emanasi sempurna Tuhan di muka bumi, manusia yang dianggap ekspresi ketuhanan dalam darah dan daging.
Tapi segala bentuk perayaan keagamaan saat ini, termasuk Natal haruslah berhati-hati terhadap dua jenis tendensi yang bisa saja datang menghampirinya. Tendensi yang pertama, yang menjadikan momen-momen keagamaan sebagai pasar untuk menjual barang-barang konsumsi tertentu, mulai dari minuman bersoda sampai dengan pakaian religi, dan Tendensi yang kedua yaitu, yang menjadikan hari besar keagamaan sebagai sarana untuk memupuk militansi keagamaan yang tertutup, momen keagamaan ditafsirkan sebagai penyemangat untuk melenyapkan sang –Lain (The Other). Lalu bagaimana seharusnya kita membaca hari-hari besar keagamaan khususnya hari Natal?.
Natal adalah momen menyambut kelahiran yang agung. Siapakah yang tidak terharu menyambut kelahiran?, walaupun sebuah anak yang dilahirkan adalah hasil hubungan gelap, kegembiraan dan keriangan sedikit banyak menyertainya keluar dari rahim, dan menempel pada sukma-sukma orang-orang yang melihat, mendengar dan mengetahui kabarnya. Bukan hanya kegembiraan dan keriangan tetapi kasih-sayang dan perasaan cinta turut pula mengikutinya.
Kristus sang pribadi yang agung, bukan hanya lahir membawa seonggok daging dan beberapa liter darah dalam tubuhnya, tetapi juga membawa harapan akan pembebasan dan keadaan yang lebih baik dimuka bumi, kelahirannya menimbulkan imaji surga yang terpatri didunia.
Hal ini sepadan misalnya saat kaum muslimin memperingati maulid Nabi Muhammad SAW, mereka tidak hanya berusaha merepetisi kelahiran sesosok tubuh kecil yang kemudian diberi nama Ahmad, tetapi pada dasarnya mereka merepetisi kembali, memperbaharui kembali, menyegarkan kembali harapan-harapan mereka.
Begitu pula dengan Musa sang nabi yang tubuhnya begitu kuat, kelahirannya tidak hanya membawa tangis tetapi kelahirannya ternyata menyimpan takdir akan tamatnya riwayat sang dictator Fir’aun di kemudian hari. Serta membawa secerca harapan buat bangsa Israel yang telah menjadi bulan-bulanan penindasan dan penghinaan.
Ternyata agama-agama di dunia kalau kita berusaha memahaminya dengan memaksimalkan kebijaksanaan diri , terutama dalam melihat moment kelahiran pembawa risalahnya masing-masing, ingin membawa harapan di tengah-tengah keputusasaan dan ratapan manusia-manusia yang lemah dan dilemahkan. Ternyata masing-masing diri yang beragama saat memperingati hari lahir Nabi-nabinya, dalam alam bawah sadar mereka berhasrat akan harapan.
Harapan, barangkali adalah satu-satunya yang membuat manusia bisa bertahan di dunia yang ganas ini. Sartre sang filosof eksistensialis mengatakan bahwa manusia itu tidak sekali jadi tetapi dia selalu ”menjadi”, dan ”menjadi” itu diawali dengan perbuatan, perbuatan yang ditarik dan didorong oleh harapan. Harapan adalah jantung hidup manusia.
Lalu kenapa sebagian pemuka dan pengikut agama berusaha untuk memonopoli harapan, dan mengklaim bahwa harapan untuk menjadi selamat hanya berada dan diperuntukkan bagi kelompok agama atau untuk diri mereka sendiri. Jika perlu untuk memonopoli harapan itu, mereka menutup pintu pengharapan bagi agama, kelompok atau diri yang lain, memupuk heterophobia- yaitu sikap yang merasa “yang-lain” sebagai sesuatu yang menakutkan. Sebagian besar dari kita telah mengubah ”hasrat akan harapan” menjadi ”hasrat akan kekuasaan”.
Hari besar ke-agama-an (religion celebration), bukanlah sekedar peringatan, atau mengaktifkan bundel-bundel ingatan sosial suatu kelompok keagamaan tertentu. Tetapi terlebih dari itu, hari besar keagamaan merupakan inisiasi yang sifatnya berkala pada diri orang-orang beriman, agar terlibat dan ”mencelupkan diri” dalam semesta nilai beserta harapan yang menyertai hari besar keagamaan tersebut. Menurut penulis hari besar keagamaan memliki dua sisi yang sangat penting, yang pertama sifatnya yang ”simbolik” dan yang kedua sifatnya yang ”sakral”.
Apa yang dimaksud dengan hari besar keagamaan bersifat simbolik ?. Artinya hari besar keagamaan menunjuk sesuatu di luar dirinya, menunjuk kepada apa yang diistilahkan Mohammaed arkoun dengan istilah ”petanda Transendental”. Selain menunjuk kepada apa yang sifatnya transenden, hari besar keagamaan juga menunjuk apa yang imanen pada diri kita. Misalnya Natal tidak hanya menunjuk kepada harapan akan kehidupan manusia yang lebih manusiawi, tetapi juga menunjuk kedalam diri para penganut kristiani, agar mereka melampaui prisma ego mereka masing-masing dan mewujudkan harapan tersebut di dalam kehidupan sehari-hari. Hari raya Idul-Adha dalam Islam, tidak hanya sekedar menunjuk kepada sikap Ikhlas Nabi Ibrahim dan Ismail, tetapi juga menunjuk ke dalam diri kita, agar kita rela untuk ”mengurbankan” hasrat-hasrat rendah kebinatangan kita, demi teraktualisasinya kehidupan yang lebih luhur.
Merupakan sebuah ”syirik kecil” jika kita gagal melampaui bentuk luar, letupan emosional sesaat dan kegembiraan sejenak saat kita turut serta dalam hari raya keagamaan tertentu. Setiap sarana simbolik dalam agama, hanya bisa dicapai tujuannya jika kita melampaui sarana-sarana simbolik tersebut, atau dalam kahazanah Post-Modernisme, setiap simbol agama, menyediakan peluang untuk mendekonstruksi dirinya sendiri.
Menghadapi perayaan ke-agama-an sebagai sesuatu yang simbolik juga berarti bahwa kita jangan menjadikan agama, perayaan ke-agamaan, kitab suci hanya sebagai sarana bagi kita untuk memperoleh informasi kebenaran tertentu, termasuk informasi mengenai Tuhan. Sebab ajaran agama, sebagaimana yang ditekankan oleh para rabi Yahudi, merupakan miqra’. Miqra’ atinya panggilan untuk bertindak dan terlibat, begitu pula dalam Islam yang menyebut agama sebagai din, yang berarti jalan atau cara hidup. Walaupun agama memberikan kita harapan, tetapi agama menuntut kita untuk melampaui harapan. Agama menuntut kita untuk melampaui harapan akan hidup menuju hidup yang sebenarnya. Agama menuntut kita melampaui harapan akan keadilan menuju keadilan yang membumi, agama menuntut kita melampui harapan akan cinta menuju mencintai sesama manusia dengan sepenuh hati, berbaik hati dengan tetangga dan menyantuni orang-orang lemah. Harapan ada dan dibutuhkan untuk segera dilampaui.
Agama yang simbolik pada dasarnya merupakan program untuk bertindak. Kita harus terlibat secara intens dan imajinatif dengan sebuah simbol, terlibat secara ritual dan etis dengannya, dan membiarkannya menimbulkan perubahan atau transformasi dalam diri kita. Jika kita jauh atau selalu mengambil jarak dengan simbol agama, maka simbol tersebut akan terus gelap dan berkabut. Iman dalam agama bukanlah sekedar ”persetujuan intelektual” terhadap proposisi-proposisi keagamaan tertentu, atau persetujuan akan serangkaian doktrin spekulatif murni. Iman adalah komitmen kita dan keberanian kita untuk hidup damai dan bijak dalam kehidupan yang misterius. Iman adalah keterlibatan intens dan bermakna dalam kehidupan yang kadang tidak bersahabat.
Tetapi jangan sampai kita mengartikan pengharapan sama dengan sikapmesianistik. Walaupun mesianistik dipenuhi dengan janji-janji serta imaji-imaji harapan akan kedatangan figur, sosok atau zaman yang jauh lebih baik, tetapi mesianistik berakar pada kebungkaman manusia, kepercayaan kepada mesianisme berakar pada sikap otophobia- yaitu sikap yang takut akan kebebasannya sendiri dan konsekuensi-konsekuensinya.Othophobia inilah yang akan membuat seseorang lari dari kebebasannya sendiri, dan menyerahkan diri, nalar dan kebebasannya terhadap otoritas tertentu, termasuk otoritas keagamaan tertentu.
Agama sebagai miqra’ bukanlah ke-pasifan eksistensial, tetapi merupakan “kepasifan yang bijaksana”, panggilan bagi manusia untuk tetap bisa “hening” dalam ikhtiarnya yang intens , memandang manusia dan alam dengan “penglihatan yang mendengarkan”, dengan penglihatan yang berusaha memahami, bukan penglihatan yang mengobjektivikasi,menginspeksi dan menginvasi.
Petanda Transendental yang ditunjuk oleh agama sebagai sesuatu yang simbolik, adalah sesuatu yang sakral. Inilah menyebabkan ritual keagamaan, termasuk perayaan-perayaan hari besar keagamaan (religion celebration) adalah sesuatu yang sakral, dengan kata lain menunjuk sambil terlibat dalam yang sakral. Sakral adalah sebuah misterium yang dalam, walaupun dalam terminologi modern , dibuat demarkasi antara kata sakral dan profane, tetapi pada dasarnya “sakral” adalah alas eksistensi bagi yang profane. Artinya kita bisa menunjuk kepada yang sakral, apabila kita menjelajahi ke-profa-nan dengan menggunakan kapasitas logos kita hingga ke batas-batasnya, dan menarik kata-kata, terma-terma, proposisi-proposisi yang biasa kita gunakan untuk mengungkapkan kebenaran diskursif hingga ke kondisi ultimatenya.
Seorang teolog Jerman Rudolf Otto, mengeksplorasi makna kesakralan agama, beserta ritual-ritual yang menyertainya. Menurut Otto , setiap agama menujuk kepada suatu yang disebut dengan “The Holy”. Untuk menjelaskan “The Holy” Otto menggunakan katanumen dan numinus, yaitu istilah yang merujuk kepada semacam kehadiran numen atau Tuhan. Dalam karya Otto yang berjudul “The Idea of Holy”, dia tidak berusaha menjelaskan wujud atau “bagaimana wujud sebenarnya” sebuah objek yang menyebabkan kehadiran tersebut, tetapi fokus Otto adalah menjelaskan pengalaman akan kehadiran tersebut secara fenomenologis. Yaitu dengan cara meletakkan segala bentuk klaim essesialisme dalam tanda kurung, inilah yang disebut dengan epoche.
Menurut Otto, perasaan akan kehadiran numen merupakan alas atau pengalaman insani dasar dan titik tolak dari semua pengalaman religius. Pengalaman kehadiran ini akan meghasilkan “rasa kebermakhlukhan”, rasa yang menyadarkan manusia bahwa dirinya adalah subjek yang rapuh, yang menunjukkan bahwa manusia adalah aktor yang ditakdirkan untuk menulis nasibnya tapi terkadang terkungkung dalam ketidakberdayaan, rasa yang menyadarkan akan “kebebalan niscaya” dan “ketidak mampuan inhern” pada diri manusia untuk mengetahui segala-galanya.
Seorang Psikolog humanis Viktor Frankl, mempersoalkan tradisi aufklarung, yang memahami manusia dalam sebuah essensialisme total, yang menggambarkan manusia sebagai homo sapiens atau animal rationale, yakni makhluk rasional yang menjadi sutradara atas proyek-proyek hidup dirinya sendiri, dan mengusulkan konsep manusia sebagai homo patients, yaitu makhluk yang menderita- barangkali kita teringat dengan perkataan Buddha bahwa “Hidup adalah Penderitaan (dukkha)”. Manusia bukanlah makhluk setegar dan sekokoh seperti yang dikatan oleh Descartes, yang mampu mengenali dengan clearly (terang) dan distinctly (jelas), segala bentuk kebenaran, atau prinsip-prinsip universal yang bisa menjamin segala bentuk pengetahuan. Manusia seperti itu adalah manusia yang muda, sehat, punya waktu luang dan merupakan kelas menengah ke atas. Tapi bagaimana dengan manusia yang cacat, tua atau para korban akibat peristiwa-peristiwa destruktif, semacam bencana alam, pembantaian, pembungkaman politik ataupun terror. Manusia bukanlah cogito semata, manusia adalah makhlukh yang menubuh, manusia adalah makhluk yang menderita sebagai tubuh. Seperti yang dikatakan oleh Maurice Merleau-Ponty, manusia merupakan le corps-sujet, manusia adalah tubuh subjek. Tubuh itulah yang mengakarkan manusia pada “kerapuhan inhern” atau pada penderitaan. Penderitaan bukanlah sesuatu yang eksternal yang datang menghampiri manusia, tetapi merupakan mode of being atau cara berada manusia.
Perasaan keber-makhlukhan yang merupakan konsekuensi dari perasaan kehadiran, berarti kesadaran kita sebagai tubuh-subjek. Itulah barangkali kenapa Tuhan merasa perlu mengutus Musa untuk membebaskan Israel, menubuhkan Firman menjadi Yesus Kristus serta mengutus rasul Agung Muhammad SAW, itu semua agar kebenaran ilahiah yang ingin disampaikan kepada kita sebagai manusia, menjadi kebanaran yang terlebih dahulu “mengalir” dalam daging dan darah para nabi dan Rasul tersebut, sehingga parallel dengan mode of being kita sebagai tubuh subjek. Para Nabi dan Rasul, bukanlah orang-orang yang tidak pernah merasakan penderitaan, tapi yang membedakan mereka dengan manusia awam adalah keberanian mereka menggemgam harapan dan melampauinya di tengah kepungan dukkha, ketidakkhawatiran mereka terhadap kekhawatiran, kedamaian (aslama) sikap mereka dalam menghadapi nasib, atau dalam ungkapan Nietzche, salah satu ciri dari ubermensch adalah mereka sanggup mengatakan “amor fati”, merayakan nasib dan menghadapinya dengan intens, seakan-akan mereka mengarungi samudera tak bertepi dan tiadanya satupun pulau untuk berlabuh.
Rudolf Otto, selanjutnya berkata, bahwa yang sakral atau yang yang suci tersebut merupakan sesuatu yang non-rasional dan non-moral. Ini tidak berarti yang suci bersifat irrasional dan immoral, tapi pertanyaan tentang moralitas dan rasionalitas tidak menjadi relevan jika kita mengalami “kehadiran yang numen” tersebut. Selanjutnya Otto menamai perasaan ini dengan istilah “mysterium trememdeum” yaitu misteri yang menggetarkan dan mengundang ketakjuban, dan ini selanjutnya akan memperturutkan konsekuensi-konsekuensi yang berbeda, dalam hal ini : Keseganan, kemegahan, urgensi, misteri dan pesona. Perasaan segan (awe) menunjuk pada debaran yang muncul dalam keterlibatan kita dengan sesuatu yang misterius, dan debaran inilah yang akan mendorong kita secara tak terduga , untuk keluar dari prisma ego kita dan memperoleh cara berpikir yang sama sekali baru. Pengakuan kemegahan (majesty) akan numinus selanjutnya membangkitkan rasa rendah hati dalam diri kita, membuat kita surut dari agresivitas kita, dan mengembangkan kemampuan reseptif dan mendengarkan “angin sepoi-sepoi” kebenaran. Pengalaman akan kehadiran numen , juga akan melahirkan semacam urgensi atau energy, memperbaharui ketegaran dan kesabaran dalam menghadapi hidup, menajamkan kembali potensi ke-khalifa-an manusia, membuat diri kita semakin aktif sebagai mazhar ilahi. Urgensi tersebut, di satu sisi menambah “debaran” kita karena membuat kita lebih berani masuk terlibat dalam misteri, tapi hal ini juga akan membuat kita semakin sadar bahwa numen atau Tuhan adalah sesuatu yang seba lain (misterius), terma-terma yang sering kita gunakan untuk menggambarkannya, bukanlah representasi mutlak. Tetapi disatu sisi perasaan akan kehadiran numen akan menimbulkan pesona .
Akhirnya penulis ingin mengatakan bahwa , Natal, Idul Fitri, Idul Adha dan hari-hari besar lainnya, bukanlah sekedar momen untuk mengenang Orang-Orang besar yang pernah ada dimasa lalu dalam ruang dan waktu tertentu, bukanlah sekedar mengingat nilai-nilai ataupun wahyu yang sekali jadi. Tetapi pada dasarnya agama bercerita tentang diri manusia yang menyejarah, walaupun agama bercerita tentang figure dalam ruang sosio-historik tertentu, tetapi lebih jauh agama ingin mengatakan mengenai mode of being manusia yang kemungkinan besar menampakkan diri dengan wajah yang berbeda-beda dalam setting ruang dan waktu yang berbeda. Agama membantu manusia memahami dan menghadapi kehidupan yang paradoks dan kompleks yang tidak mungkin di closuresepenuhnya oleh rasio. Wassalam
Referensi :
- Masa Depan Tuhan (Mizan / 2011) : Karen Armstrong
- Pohon Filsafat (Pustaka Pelajar / 2002) : Dr. Stephen Palmquist
- Islam Pluralis (Paramadina / 2001) : Budhy Munawar-Rachman
- Memahami Negativitas (Kompas / 2005) : F. Budi Hardiman
Krisis keuangan, bencana alam yang dahsyat, kasus korupsi, konflik horizontal, merupakan serangkaian kategori peristiwa destruktif yang pernah dan terus mengancam Indonesia. Peristiwa destruktif tersebut bisa saja “menelan” kita, dan membuat kita putus asa bahkan trauma. Kita tidak bisa melenyapkan segala peristiwa destruktif, tetapi kita bisa berdiri tegar menghadapi dan mengatasinya, maka itulah kita butuh harapan. Jika kita menggunakan kesadaran intens dalam menjalani hidup, maka banyak peristiwa sederhana yang bisa memercikkan harapan, semisal peristiwa pagi hari, tangis bayi yang baru lahir dan ritual-ritual serta perayaan keagamaan yang seringkali kita jalani dengan khidmat.
Tanggal 25 desember nanti, umat kristiani kembali memperingati kelahiran manusia yang agung, manusia yang dianggap sebagai emanasi sempurna Tuhan di muka bumi, manusia yang dianggap ekspresi ketuhanan dalam darah dan daging.
Tapi segala bentuk perayaan keagamaan saat ini, termasuk Natal haruslah berhati-hati terhadap dua jenis tendensi yang bisa saja datang menghampirinya. Tendensi yang pertama, yang menjadikan momen-momen keagamaan sebagai pasar untuk menjual barang-barang konsumsi tertentu, mulai dari minuman bersoda sampai dengan pakaian religi, dan Tendensi yang kedua yaitu, yang menjadikan hari besar keagamaan sebagai sarana untuk memupuk militansi keagamaan yang tertutup, momen keagamaan ditafsirkan sebagai penyemangat untuk melenyapkan sang –Lain (The Other). Lalu bagaimana seharusnya kita membaca hari-hari besar keagamaan khususnya hari Natal?.
Natal adalah momen menyambut kelahiran yang agung. Siapakah yang tidak terharu menyambut kelahiran?, walaupun sebuah anak yang dilahirkan adalah hasil hubungan gelap, kegembiraan dan keriangan sedikit banyak menyertainya keluar dari rahim, dan menempel pada sukma-sukma orang-orang yang melihat, mendengar dan mengetahui kabarnya. Bukan hanya kegembiraan dan keriangan tetapi kasih-sayang dan perasaan cinta turut pula mengikutinya.
Kristus sang pribadi yang agung, bukan hanya lahir membawa seonggok daging dan beberapa liter darah dalam tubuhnya, tetapi juga membawa harapan akan pembebasan dan keadaan yang lebih baik dimuka bumi, kelahirannya menimbulkan imaji surga yang terpatri didunia.
Hal ini sepadan misalnya saat kaum muslimin memperingati maulid Nabi Muhammad SAW, mereka tidak hanya berusaha merepetisi kelahiran sesosok tubuh kecil yang kemudian diberi nama Ahmad, tetapi pada dasarnya mereka merepetisi kembali, memperbaharui kembali, menyegarkan kembali harapan-harapan mereka.
Begitu pula dengan Musa sang nabi yang tubuhnya begitu kuat, kelahirannya tidak hanya membawa tangis tetapi kelahirannya ternyata menyimpan takdir akan tamatnya riwayat sang dictator Fir’aun di kemudian hari. Serta membawa secerca harapan buat bangsa Israel yang telah menjadi bulan-bulanan penindasan dan penghinaan.
Ternyata agama-agama di dunia kalau kita berusaha memahaminya dengan memaksimalkan kebijaksanaan diri , terutama dalam melihat moment kelahiran pembawa risalahnya masing-masing, ingin membawa harapan di tengah-tengah keputusasaan dan ratapan manusia-manusia yang lemah dan dilemahkan. Ternyata masing-masing diri yang beragama saat memperingati hari lahir Nabi-nabinya, dalam alam bawah sadar mereka berhasrat akan harapan.
Harapan, barangkali adalah satu-satunya yang membuat manusia bisa bertahan di dunia yang ganas ini. Sartre sang filosof eksistensialis mengatakan bahwa manusia itu tidak sekali jadi tetapi dia selalu ”menjadi”, dan ”menjadi” itu diawali dengan perbuatan, perbuatan yang ditarik dan didorong oleh harapan. Harapan adalah jantung hidup manusia.
Lalu kenapa sebagian pemuka dan pengikut agama berusaha untuk memonopoli harapan, dan mengklaim bahwa harapan untuk menjadi selamat hanya berada dan diperuntukkan bagi kelompok agama atau untuk diri mereka sendiri. Jika perlu untuk memonopoli harapan itu, mereka menutup pintu pengharapan bagi agama, kelompok atau diri yang lain, memupuk heterophobia- yaitu sikap yang merasa “yang-lain” sebagai sesuatu yang menakutkan. Sebagian besar dari kita telah mengubah ”hasrat akan harapan” menjadi ”hasrat akan kekuasaan”.
Hari besar ke-agama-an (religion celebration), bukanlah sekedar peringatan, atau mengaktifkan bundel-bundel ingatan sosial suatu kelompok keagamaan tertentu. Tetapi terlebih dari itu, hari besar keagamaan merupakan inisiasi yang sifatnya berkala pada diri orang-orang beriman, agar terlibat dan ”mencelupkan diri” dalam semesta nilai beserta harapan yang menyertai hari besar keagamaan tersebut. Menurut penulis hari besar keagamaan memliki dua sisi yang sangat penting, yang pertama sifatnya yang ”simbolik” dan yang kedua sifatnya yang ”sakral”.
Apa yang dimaksud dengan hari besar keagamaan bersifat simbolik ?. Artinya hari besar keagamaan menunjuk sesuatu di luar dirinya, menunjuk kepada apa yang diistilahkan Mohammaed arkoun dengan istilah ”petanda Transendental”. Selain menunjuk kepada apa yang sifatnya transenden, hari besar keagamaan juga menunjuk apa yang imanen pada diri kita. Misalnya Natal tidak hanya menunjuk kepada harapan akan kehidupan manusia yang lebih manusiawi, tetapi juga menunjuk kedalam diri para penganut kristiani, agar mereka melampaui prisma ego mereka masing-masing dan mewujudkan harapan tersebut di dalam kehidupan sehari-hari. Hari raya Idul-Adha dalam Islam, tidak hanya sekedar menunjuk kepada sikap Ikhlas Nabi Ibrahim dan Ismail, tetapi juga menunjuk ke dalam diri kita, agar kita rela untuk ”mengurbankan” hasrat-hasrat rendah kebinatangan kita, demi teraktualisasinya kehidupan yang lebih luhur.
Merupakan sebuah ”syirik kecil” jika kita gagal melampaui bentuk luar, letupan emosional sesaat dan kegembiraan sejenak saat kita turut serta dalam hari raya keagamaan tertentu. Setiap sarana simbolik dalam agama, hanya bisa dicapai tujuannya jika kita melampaui sarana-sarana simbolik tersebut, atau dalam kahazanah Post-Modernisme, setiap simbol agama, menyediakan peluang untuk mendekonstruksi dirinya sendiri.
Menghadapi perayaan ke-agama-an sebagai sesuatu yang simbolik juga berarti bahwa kita jangan menjadikan agama, perayaan ke-agamaan, kitab suci hanya sebagai sarana bagi kita untuk memperoleh informasi kebenaran tertentu, termasuk informasi mengenai Tuhan. Sebab ajaran agama, sebagaimana yang ditekankan oleh para rabi Yahudi, merupakan miqra’. Miqra’ atinya panggilan untuk bertindak dan terlibat, begitu pula dalam Islam yang menyebut agama sebagai din, yang berarti jalan atau cara hidup. Walaupun agama memberikan kita harapan, tetapi agama menuntut kita untuk melampaui harapan. Agama menuntut kita untuk melampaui harapan akan hidup menuju hidup yang sebenarnya. Agama menuntut kita melampaui harapan akan keadilan menuju keadilan yang membumi, agama menuntut kita melampui harapan akan cinta menuju mencintai sesama manusia dengan sepenuh hati, berbaik hati dengan tetangga dan menyantuni orang-orang lemah. Harapan ada dan dibutuhkan untuk segera dilampaui.
Agama yang simbolik pada dasarnya merupakan program untuk bertindak. Kita harus terlibat secara intens dan imajinatif dengan sebuah simbol, terlibat secara ritual dan etis dengannya, dan membiarkannya menimbulkan perubahan atau transformasi dalam diri kita. Jika kita jauh atau selalu mengambil jarak dengan simbol agama, maka simbol tersebut akan terus gelap dan berkabut. Iman dalam agama bukanlah sekedar ”persetujuan intelektual” terhadap proposisi-proposisi keagamaan tertentu, atau persetujuan akan serangkaian doktrin spekulatif murni. Iman adalah komitmen kita dan keberanian kita untuk hidup damai dan bijak dalam kehidupan yang misterius. Iman adalah keterlibatan intens dan bermakna dalam kehidupan yang kadang tidak bersahabat.
Tetapi jangan sampai kita mengartikan pengharapan sama dengan sikapmesianistik. Walaupun mesianistik dipenuhi dengan janji-janji serta imaji-imaji harapan akan kedatangan figur, sosok atau zaman yang jauh lebih baik, tetapi mesianistik berakar pada kebungkaman manusia, kepercayaan kepada mesianisme berakar pada sikap otophobia- yaitu sikap yang takut akan kebebasannya sendiri dan konsekuensi-konsekuensinya.Othophobia inilah yang akan membuat seseorang lari dari kebebasannya sendiri, dan menyerahkan diri, nalar dan kebebasannya terhadap otoritas tertentu, termasuk otoritas keagamaan tertentu.
Agama sebagai miqra’ bukanlah ke-pasifan eksistensial, tetapi merupakan “kepasifan yang bijaksana”, panggilan bagi manusia untuk tetap bisa “hening” dalam ikhtiarnya yang intens , memandang manusia dan alam dengan “penglihatan yang mendengarkan”, dengan penglihatan yang berusaha memahami, bukan penglihatan yang mengobjektivikasi,menginspeksi dan menginvasi.
Petanda Transendental yang ditunjuk oleh agama sebagai sesuatu yang simbolik, adalah sesuatu yang sakral. Inilah menyebabkan ritual keagamaan, termasuk perayaan-perayaan hari besar keagamaan (religion celebration) adalah sesuatu yang sakral, dengan kata lain menunjuk sambil terlibat dalam yang sakral. Sakral adalah sebuah misterium yang dalam, walaupun dalam terminologi modern , dibuat demarkasi antara kata sakral dan profane, tetapi pada dasarnya “sakral” adalah alas eksistensi bagi yang profane. Artinya kita bisa menunjuk kepada yang sakral, apabila kita menjelajahi ke-profa-nan dengan menggunakan kapasitas logos kita hingga ke batas-batasnya, dan menarik kata-kata, terma-terma, proposisi-proposisi yang biasa kita gunakan untuk mengungkapkan kebenaran diskursif hingga ke kondisi ultimatenya.
Seorang teolog Jerman Rudolf Otto, mengeksplorasi makna kesakralan agama, beserta ritual-ritual yang menyertainya. Menurut Otto , setiap agama menujuk kepada suatu yang disebut dengan “The Holy”. Untuk menjelaskan “The Holy” Otto menggunakan katanumen dan numinus, yaitu istilah yang merujuk kepada semacam kehadiran numen atau Tuhan. Dalam karya Otto yang berjudul “The Idea of Holy”, dia tidak berusaha menjelaskan wujud atau “bagaimana wujud sebenarnya” sebuah objek yang menyebabkan kehadiran tersebut, tetapi fokus Otto adalah menjelaskan pengalaman akan kehadiran tersebut secara fenomenologis. Yaitu dengan cara meletakkan segala bentuk klaim essesialisme dalam tanda kurung, inilah yang disebut dengan epoche.
Menurut Otto, perasaan akan kehadiran numen merupakan alas atau pengalaman insani dasar dan titik tolak dari semua pengalaman religius. Pengalaman kehadiran ini akan meghasilkan “rasa kebermakhlukhan”, rasa yang menyadarkan manusia bahwa dirinya adalah subjek yang rapuh, yang menunjukkan bahwa manusia adalah aktor yang ditakdirkan untuk menulis nasibnya tapi terkadang terkungkung dalam ketidakberdayaan, rasa yang menyadarkan akan “kebebalan niscaya” dan “ketidak mampuan inhern” pada diri manusia untuk mengetahui segala-galanya.
Seorang Psikolog humanis Viktor Frankl, mempersoalkan tradisi aufklarung, yang memahami manusia dalam sebuah essensialisme total, yang menggambarkan manusia sebagai homo sapiens atau animal rationale, yakni makhluk rasional yang menjadi sutradara atas proyek-proyek hidup dirinya sendiri, dan mengusulkan konsep manusia sebagai homo patients, yaitu makhluk yang menderita- barangkali kita teringat dengan perkataan Buddha bahwa “Hidup adalah Penderitaan (dukkha)”. Manusia bukanlah makhluk setegar dan sekokoh seperti yang dikatan oleh Descartes, yang mampu mengenali dengan clearly (terang) dan distinctly (jelas), segala bentuk kebenaran, atau prinsip-prinsip universal yang bisa menjamin segala bentuk pengetahuan. Manusia seperti itu adalah manusia yang muda, sehat, punya waktu luang dan merupakan kelas menengah ke atas. Tapi bagaimana dengan manusia yang cacat, tua atau para korban akibat peristiwa-peristiwa destruktif, semacam bencana alam, pembantaian, pembungkaman politik ataupun terror. Manusia bukanlah cogito semata, manusia adalah makhlukh yang menubuh, manusia adalah makhluk yang menderita sebagai tubuh. Seperti yang dikatakan oleh Maurice Merleau-Ponty, manusia merupakan le corps-sujet, manusia adalah tubuh subjek. Tubuh itulah yang mengakarkan manusia pada “kerapuhan inhern” atau pada penderitaan. Penderitaan bukanlah sesuatu yang eksternal yang datang menghampiri manusia, tetapi merupakan mode of being atau cara berada manusia.
Perasaan keber-makhlukhan yang merupakan konsekuensi dari perasaan kehadiran, berarti kesadaran kita sebagai tubuh-subjek. Itulah barangkali kenapa Tuhan merasa perlu mengutus Musa untuk membebaskan Israel, menubuhkan Firman menjadi Yesus Kristus serta mengutus rasul Agung Muhammad SAW, itu semua agar kebenaran ilahiah yang ingin disampaikan kepada kita sebagai manusia, menjadi kebanaran yang terlebih dahulu “mengalir” dalam daging dan darah para nabi dan Rasul tersebut, sehingga parallel dengan mode of being kita sebagai tubuh subjek. Para Nabi dan Rasul, bukanlah orang-orang yang tidak pernah merasakan penderitaan, tapi yang membedakan mereka dengan manusia awam adalah keberanian mereka menggemgam harapan dan melampauinya di tengah kepungan dukkha, ketidakkhawatiran mereka terhadap kekhawatiran, kedamaian (aslama) sikap mereka dalam menghadapi nasib, atau dalam ungkapan Nietzche, salah satu ciri dari ubermensch adalah mereka sanggup mengatakan “amor fati”, merayakan nasib dan menghadapinya dengan intens, seakan-akan mereka mengarungi samudera tak bertepi dan tiadanya satupun pulau untuk berlabuh.
Rudolf Otto, selanjutnya berkata, bahwa yang sakral atau yang yang suci tersebut merupakan sesuatu yang non-rasional dan non-moral. Ini tidak berarti yang suci bersifat irrasional dan immoral, tapi pertanyaan tentang moralitas dan rasionalitas tidak menjadi relevan jika kita mengalami “kehadiran yang numen” tersebut. Selanjutnya Otto menamai perasaan ini dengan istilah “mysterium trememdeum” yaitu misteri yang menggetarkan dan mengundang ketakjuban, dan ini selanjutnya akan memperturutkan konsekuensi-konsekuensi yang berbeda, dalam hal ini : Keseganan, kemegahan, urgensi, misteri dan pesona. Perasaan segan (awe) menunjuk pada debaran yang muncul dalam keterlibatan kita dengan sesuatu yang misterius, dan debaran inilah yang akan mendorong kita secara tak terduga , untuk keluar dari prisma ego kita dan memperoleh cara berpikir yang sama sekali baru. Pengakuan kemegahan (majesty) akan numinus selanjutnya membangkitkan rasa rendah hati dalam diri kita, membuat kita surut dari agresivitas kita, dan mengembangkan kemampuan reseptif dan mendengarkan “angin sepoi-sepoi” kebenaran. Pengalaman akan kehadiran numen , juga akan melahirkan semacam urgensi atau energy, memperbaharui ketegaran dan kesabaran dalam menghadapi hidup, menajamkan kembali potensi ke-khalifa-an manusia, membuat diri kita semakin aktif sebagai mazhar ilahi. Urgensi tersebut, di satu sisi menambah “debaran” kita karena membuat kita lebih berani masuk terlibat dalam misteri, tapi hal ini juga akan membuat kita semakin sadar bahwa numen atau Tuhan adalah sesuatu yang seba lain (misterius), terma-terma yang sering kita gunakan untuk menggambarkannya, bukanlah representasi mutlak. Tetapi disatu sisi perasaan akan kehadiran numen akan menimbulkan pesona .
Akhirnya penulis ingin mengatakan bahwa , Natal, Idul Fitri, Idul Adha dan hari-hari besar lainnya, bukanlah sekedar momen untuk mengenang Orang-Orang besar yang pernah ada dimasa lalu dalam ruang dan waktu tertentu, bukanlah sekedar mengingat nilai-nilai ataupun wahyu yang sekali jadi. Tetapi pada dasarnya agama bercerita tentang diri manusia yang menyejarah, walaupun agama bercerita tentang figure dalam ruang sosio-historik tertentu, tetapi lebih jauh agama ingin mengatakan mengenai mode of being manusia yang kemungkinan besar menampakkan diri dengan wajah yang berbeda-beda dalam setting ruang dan waktu yang berbeda. Agama membantu manusia memahami dan menghadapi kehidupan yang paradoks dan kompleks yang tidak mungkin di closuresepenuhnya oleh rasio. Wassalam
Referensi :
- Masa Depan Tuhan (Mizan / 2011) : Karen Armstrong
- Pohon Filsafat (Pustaka Pelajar / 2002) : Dr. Stephen Palmquist
- Islam Pluralis (Paramadina / 2001) : Budhy Munawar-Rachman
- Memahami Negativitas (Kompas / 2005) : F. Budi Hardiman

Tidak ada komentar:
Posting Komentar